Kemiskinan Turun, SKTM Naik
Oleh : Kosih Kosasih
Pada hari senin (16/7), Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka kemiskinan bulan Maret 2018 sebesar 9,82 persen, angka satu digit ini merupakan terkecil sejak tahun 1998. Tidak hanya Nasional, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat pun mengalami penurunan cukup signifikan, angkanya mencapai 7,45 persen.
Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat pada bulan September 2017 mencapai 3.774,41 ribu jiwa (7,83 persen), sedangkan pada bulan Maret 2018 jumlahnya mencapai 3.615,79 ribu jiwa (7,45 persen). Artinya pada bulan Maret terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sekitar 159 ribu jiwa atau 0,38 persen bila dibandingkan bulan September 2017.
Bila dilihat berdasarkan tempat tinggal, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan maupun perdesaan pada periode September 2017 – Maret 2018 masing – masing turun sebesar 63,36 ribu jiwa dan 95,26 ribu jiwa. Secara persentase, kemiskinan di perkotaan turun dari 6,76 persen menjadi 6,47 persen, sedangkan di perdesaan turun dari 10,77 persen menjadi 10,25 persen.
Baca juga : Tingkat Kemiskinan Jawa Barat
Selama September 2017 – Maret 2018, Garis Kemiskinan (GK) mengalami kenaikan sebesar 3,69 persen dari Rp 354.679 per kapita per bulan menjadi Rp 367.755 per kapita per bulan. Peran komoditas makanan terhadap GK masih mendominasi, buktinya sumbangan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) terhadap GK mencapai 72,48 persen (Rp 266.531). Sedangkan 27,52 persennya (Rp 101.223) adalah Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Hal ini menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat pada tingkat ekonomi rendah lebih didominasi oleh pengeluaran untuk kebutuhan makanan.
Meskipun tingkat kemiskinan Jabar mengalami penurunan yang cukup signifikan, tetapi bila ditelisik lebih jauh dari tingkat ketimpangan, gini ratio Jabar pada bulan Maret 2018 mengalami peningkatan sebesar 0,014 poin dari 0,393 menjadi 0,407. Hal ini harus menjadi perhatian Pemerintah karena semakin tinggi nilai gini ratio maka semakin tinggi pula tingkat ketimpangan antara si kaya dan si miskin.
Fenomena SKTM
SKTM atau Surat Keterangan Tidak Mampu kembali ramai diperbincangkan beberapa waktu yang lalu pada saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2018/2019. Pasalnya, banyak orang tua siswa berbondong – bondong mendaftarkan anaknya ke sekolah dengan menggunakan surat sakti tersebut, padahal setelah diverifikasi sebetulnya secara financial beberapa orang tua siswa ini tergolong keluarga mampu.
PPDB 2018 dilakukan secara serentak dari mulai jenjang SD, SMP dan SMA dengan menggunakan sistem zonasi. Dengan ketentuan, Pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit 90 persen dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.
Sejalan dengan bunyi Permendikbud nomor 14 tentang PPDB pasal 19, yaitu SMA/SMK atau bentuk lain yang sederajat yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah provinsi wajib menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu yang berdomisili dalam satu wilayah daerah provinsi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. Maka, sekolah harus menerima ketika siswa tersebut membawa SKTM sebagai bukti bahwa keluarganya tidak mampu (miskin).
Pada praktiknya banyak yang menyalahgunakan SKTM untuk dimanfaatkan oleh beberapa orang tua siswa mampu sebagai senjata ampuh untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah yang diinginkan dengan tujuan agar nantinya tidak perlu membayar uang sekolah (gratis). Sehingga kekisruhan pun terjadi pada saat jumlah siswa yang mendaftar melalui jalur ini sudah melebihi kuota.
Baca juga : Darurat Mental Miskin
Tingginya penerbitan SKTM di berbagai wilayah termasuk di Jawa Barat pada saat PPDB, seolah – olah mengindikasikan adanya peningkatan masyarakat tidak mampu (miskin) saat ini. Padahal secara kuantitas BPS Jabar merilis jumlah penduduk miskin bulan Maret 2018 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini menjadi tanda tanya besar bagi kita, ada apa dengan mental masyarakat saat ini?
Persoalan kemiskinan memang cukup pelik, penanganannya tidak cukup hanya sebatas penurunan jumlah saja. Fenomena SKTM menjadi salah satu bukti bahwa ada yang salah dengan mental/ moral masyarakat. Sesuatu yang “gratis” sudah menjadi daya tarik baru bagi masyarakat, tidak peduli walaupun harus menyandang keluarga tidak mampu (miskin).
Hal ini menjadi PR berat bagi Pemerintah, karena selain harus mengentaskan kemiskinan dari sisi jumlah, secara moral pun Pemerintah harus bisa merubah mental miskin yang “terlanjur” melekat di masyarakat menjadi mental produktif. (*)
0 Response to "Kemiskinan Turun, SKTM Naik"
Post a Comment